KompasNasional.com, Semarang – SMAN 1 Semarang tetap bersikukuh mengembalikan 2 siswanya yang dianggap melakukan kekerasan atau bullying. Meski keduanya tidak memilik track record pelanggaran, namun karena satu kesalahan ternyata dinilai sekolah cukup untuk membuat mereka angkat kaki dari sekolah favorit itu.
Pihak SMAN 1 Semarang menggelar jumpa pers dengan media dengan dihadiri Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Gatot B Hastowo. Dari SMAN 1 Semarang hadir kepala sekolah, Endang Suyatmi L beserta wakil kepala sekolah dan guru.
Endang mengatakan, langkah yang diambil sudah sesuai aturan tata tertib sekolahan. Ia menegaskan sekecil apapun kekerasan maka tidak dibenarkan. Aturan tersebut ada dalam buku tata tertib yang diakui masih belum sempurna karena ada pasal yang hilang.
“Ini shock terapi agar anak-anak lebih baik sikapnya, agar lebih paham tata tertib,” kata Endang di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Jalan Pemuda Semarang, Selasa (26/2/2018).
Ia menjelaskan poin pelanggaran sudah tercatat dalam buku tata tertib. Lebih lanjut Endang menjelaskan siswa atas nama AN mendapatkan poin 125 sedangkan siswa atas nama MA mendapatkan 130 poin. Jumlah tersebut melebihi batas yaitu 100 poin sehingga harus dikembalikan ke orang tua.
“Dalam tata tertib, kalau sudah 101 poin dikembalikan ke orangtua,” ujar Endang.
Ia menjelaskan, poin-poin untuk MA, yaitu menyakiti perasaan peserta didik dan atau melakukan tindakan tidak sopan hingga merugikan peserta didik yang bersangkutan (20 poin), penyalahgunaan fasilitas sekolah yang tidak sesuai peruntukanya (5 poin), mengotori, mencorat-coret dan merusak fasilitas milik sekolah atau pihak lain (5 poin), mengancam, mengintimidasi peserta didik secara individu di dalam atau di luar sekolah (50 poin), dan mengancam, mengintimidasi atau bermusuhan dengan peserta didik secara berkelompok di dalam atau di luar sekolah (50 poin)
“Untuk yang AN sama (tertulis dalam aturan nomor) 11, 17, 24, 25 yang jumlahnya 125 poin,” tegasnya.
Pihak sekolah mengakui jumlah poin tersebut dijatuhkan dalam satu perkara, artinya sebelumnya 2 orang anggota OSIS itu memang belum pernah melakukan pelanggaran.
“Iya (dalam satu waktu),” kata Endang.
Lebih lanjut pihak sekolah mengakui pelanggaran itu merupakan temuan sekolah yang berawal dari razia ponsel akhir Januari lalu. Ditemukan video dua peserta didik itu memberikan latihan fisik berupa penamparan dan pemukulan ke junior dalam kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS.
Karena dianggap temuan, maka pihak sekolah langsung memberikan poin dan tidak berusaha mempertemukan atau memediasi AN dan MA dengan junior yang mendapat perlakuan itu. Endang menegegaskan keputusan sekolah sudah bulat.
“Kalau ditanya ke korban pasti bilangnya tidak masalah. Bukan seperti itu, kami sudah tandatangan sekolah ramah anak,” timpal guru Bimbingan Konseling (BK), Priti yang ikut mendampingi Kepala Sekolah.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Gatot mengatakan pihaknya menerima laporan dari sekolahan. Pihaknya juga memfasilitasi mencarikan sekolah negeri bagi 2 anak tersebut agar bisa mengikuti ujian nasional.
“Saya selaku Kadinas mencari jalan keluar agar anak-anak ini tetap ikut ujian nasional. Saya bilang jangan di swasta, di negeri yang dekat dengan rumah mereka,” pungkas Gatot.
Meski demikian 2 anak yang diminta angkat kaki itu enggan pindah ke sekolah yang sudah ditentukan yaitu SMAN 11 dan SMAN 13 Semarang. Mereka dan orangtuanya merasa janggal dengan kasus tersebut terlebih lagi sudah menjelang Ujian Sekolah dan Ujian Nasional.
AN dan MA merupakan anggota Osis, bahkan AN saat kelas X pernah mewakili sekolahan dalam kejuaraan Voli tingkat Kota. AN sangat terkejut dengan apa yang menimpanya sedangkan MA masih dalam kondisi sakit saat ini.(DTK/TR)