KompasNasional.com, Sinjai – Pernikahan anak masih mewarnai Indonesia, Sulawesi Selatan salah satunya. Di Sinjai, seorang siswi SD kelasa 6 nyaris menikah dengan seorang pria usia 21 tahun. Rencana pernikahan itu batal karena penghulu tak ada yang berani menikahkan setelah menjadi sorotan.
Pesta sejatinya digelar pada Selasa (8/5) kemarin di Sinjai. Panggung sudah didirikan, pelaminan sudah disiapkan dan sound system serta grup band sudah stand by. Namun pernikahan batal karena penghulu tak ada yang berani menikahkan.
Tangis ibu mempelai pecah. Ia mengaku malu. Pihak mempelai laki-laki yang sudah keburu mengeluarkan uang pernikahan juga merasa kecewa.
“Batalnya pernikahan, dari pihak laki-laki akan meminta kembali uang panai (mahar nikah). Jadi kami dari pihak kelurahan berusaha membantu dengan memberikan kontribusi untuk meringankan bebannya sebisa mungkin,” kata Kepala Desa, Azharuddin.
Dalam kajiannya, Rospida menjelaskan faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini yang terjadi di Sinjai ini karena kurangnya pemahaman.
Sementara itu, pihak Kementrian Sosial yang ikut hadir di lokasi resepsi yang batal itu ikut berjanji akan memberikan bantuan berupa pendampingan untuk pemulihan dari sisi psikologi bagi siswi kelas 6 SD itu. Kemensos akan memberikan pendampingan agar bisa keluar dari musibah yang dialaminya dan kembali ke kehidupan normal layaknya teman sebaya. Apalagi calon mempelai perempuan itu ingin kembali melanjutkan sekolah.
“Sebenarnya baru semalam kami tahu melalui media, kami dari Kementrian Sosial akan memberi bantuan dengan mendampingi anak dalam pemulihan psikologinya,” kata perwakilan Kemensos, Ulfrah Sulfiah.
Kanit PPA Satseskrim Polres Sinjai, Aiptu Rospida, menuturkan pihak yang menikahkan anak-anak bisa dikenakan pidana penjara.
“Ancamanya minimal 5 tahun penjara sesuai UU Perlindungan Anak Pasal 77B,” kata Rospida.
“Terutama untuk kasus ini, kami juga menemukan fakta bahwa ayah dan ibu ini dulu menikah muda. Banyak dari pihak keluarganya juga demikian. Jadi saya menilai pernikahan dini yang terjadi ini sebenarnya karena faktor kurangnya pemahaman masyarakat, pola pikirnya yang memang perlu kita ubah,” ungkap Rospida.(Detik/TR)