KompasNasional.com, Medan -Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menolak eksepsi atau keberatan Meiliana (44), wanita yang menjadi terdakwa perkara penodaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjungbalai, dua tahun lalu.
Putusan ini disampaikan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo dalam persidangan yang digelar di ruang utama PN Medan, Selasa (17/7/2018) sore.
“Menyatakan keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima,” kata Wahyu Prasetyo Wibowo, ketua majelis hakim.
Menurut majelis hakim, PN Nedan berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara itu. Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan sah sebagai dasar pemeriksaan dalam perkara ini. “Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa Meiliana,” jelas Wahyu.
Majelis hakim menyatakan uraian perbuatan yang dinyatakan penasihat hukum telah memasuki materi pokok perkara. Hal itu harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dengan alat bukti.
Karena eksepsi penasihat hukum terdakwa ditolak, perkara itu langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi. JPU langsung menghadirkan 7 orang saksi. Mereka masih diperiksa.
Berbeda dengan sebelumnya, persidangan kali ini mendapat perhatian dari kelompok masyarakat. Lokasi sidang pun dipindahkan ke ruang utama PN Medan. Sementara aparat kepolisian yang berjaga juga semakin banyak.
Seperti diberitakan, Meiliana (44), mulai diadili sekitar 2 tahun setelah kerusuhan bernuansa SARA di Tanjungbalai. Dia didakwa telah melakukan penodaan terhadap agama Islam yang kemudian memicu peristiwa itu.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Anggia Y Kesuma mendakwa Meiliana telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156 dan Pasal 156A KUHP. Perempuan itu diduga dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sidang perdana perkara ini digelar Selasa (26/6). Selasa (3/7), penasihat hukum Meiliana menyampaikan eksepsinya.
Dalam dakwaan JPU disebutkan bahwa perkara itu bermula saat Meiliana mendatangi tetangganya di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjungbalai Kota I, Tanjungbalai Selatan, Tanjungbalai, Jumat (22/7/2016) pagi. Dia berkata kepada tetangganya, “Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara mesjid itu kak, sakit kupingku, ribut” sambil menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan.
Permintaan Meiliana disampaikan ke BKM Al Makhsum. Jumat (29/72016) sekira 19.00 WIB, pengurus masjid mendatangi kediamannya dan mempertanyakan permintaan perempuan itu.
“Ya lah, kecilkanlah suara mesjid itu ya, bising telinga saya, pekak mendengar itu,” jawab Meiliana.
Sempat juga terjadi adu argumen ketika itu. Setelah pengurus masjid kembali untuk melaksanakan salat isya, suami Meiliana, Lian Tui, datang ke masjid untuk meminta maaf.
Namun kejadian itu terlanjur menjadi perbincangan warga. Masyarakat menjadi ramai.
Sekitar pukul 21.00 Wib, kepala lingkungan membawa Meiliana ke kantor kelurahan setempat. Sekitar pukul 23.00 Wib, warga semakin ramai dan berteriak.
Bukan hanya itu, warga mulai melempari rumah Meiliana. Kejadian itu pun meluas. Massa mengamuk membakar serta merusak sejumlah vihara dan klenteng serta sejumlah kendaraan di kota itu.
Peristiwa itu pun masuk ke ranah hukum. Meiliana dilaporkan ke polisi. Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara membuat fatwa tentang penistaan agama yang dilakukan Meiliana.
Penyidik menetapkan Meiliana sebagai tersangka. Sekitar 2 tahun berselang, JPU menahan perempuan itu di Rutan Tanjunggusta Medan sejak 30 Mei 2018.(PJKST/TR)