Edwar Sirait menegaskan, JT 610 menggunakan pesawat buatan 2018, Boeing 737 MAX. Lion air baru mengoperasikannya sejak 15 Agustus 2018. Baru dua bulan dipakai.
Saat keberangkatan ke Pangkal Pinang, statusnya dinyatakan laik jalan. Jam terbangnya pun cukup padat. Dalam catatan Lion Air, JT 610 terbang 20 jam perhari, khusus untuk tujuan domestik. “Ini laik dipakai, namun kita masih tunggu apa kendalanya karena masih diselidiki,” ujar Edward.
Penerbangan JT 610 dikendalikan Kapten Bhavye Suneja dengan kopilot Harvino. Keduanya dibantu enam awak kabin atas nama Shintia Melina, Citra Noivita Anggelia, Alviani Hidayatul Solikha, Damayanti Simarmata, Mery Yulianda, dan Deny Maula.
Pilot maupun kopilot dinilai punya cukup pengalaman menerbangkan pesawat. Kapten pilot mengantungi lebih dari 6.000 jam terbang. Sementara kopilot telah punya lebih dari 5.000 jam terbang.
Menurut Corporate Communication Lion Group, Danang Prihantoro, pesawat hilang kontak setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pukul 06.20 WIB. Seharusnya, pesawat dijadwalkan mendarat di Pangkal Pinang pada pukul 07.10 WIB.
Setelah 13 menit mengudara, pada 06.33 WIB, pesawat Lion Air jatuh di koordinat S 5’49.052” E 107’ 06.628” atau di sekitar Karawang. Pesawat mengangkut 178 penumpang dewasa, satu penumpang anak-anak dan dua penumpang bayi, termasuk dalam penerbangan ini ada tiga pramugari sedang pelatihan dan satu teknisi. Totalnya 189 orang.
Pesawat JT 610 masuk dalam rumpun Boeing 737 MAX. Model ini dibuat untuk menggantikan Boeing 737 Next Generation. Pembuatan 737 MAX tak lepas dari persaingan dengan Airbus yang mengeluarkan seri Airbus A320neo-nya.
Pabrikan Boeing mengembangkan 737 MAX pada 30 Agustus 2011. Model Boeing 737 Max 8 pertama kali diperkenalkan ke publik oleh Lion Air Group pada 2017 silam, setelah dikirim langsung dari Boeing Company yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat.
Pesawat itu nantinya akan menggantikan armada 737-800 milik maskapai berlogo kepala singa tersebut. Lion Air sendiri memesan total 218 unit Boeing 737 MAX 8. Pesawat itu melayani penerbangan Arab Saudi, Korea, China, dan seluruh rute domestik.
Pengembangan pada sektor mesin adalah salah satu perubahan paling signfikan dari Boeing 737 MAX 8 dan saudara-saudaranya, MAX 7 dan MAX 9. Keluarga 737 MAX memiliki mesin CFM International LEAP-1B baru yang lebih baik dan dirancang lebih ringan sehingga efisien bahan bakar.
Efisiensi dari mesin CFM International LEAP-1B baru itu dipicu oleh ukurannya yang lebih kecil dan lebih aerodinamis (membuatnya minim gaya hambat), sehingga bahan bakar yang dibakar akan jauh lebih sedikit.
Analisis Para Ahli
Sehari setelah insiden jatuhnya Lion Air JT 610, sejumlah analis di dunia penerbangan pun buka suara. Mereka mulai menganalisis penyebab petaka yang menimpa kapal terbang anyar itu.
Salah satunya Gerry Soejatman yang mengungkapnya analisisnya kepada BBC. Menurutnya, tak hanya pesawat tua yang paling berisiko tinggi celaka, burung besi baru yang ‘bermasalah’ juga berpeluang.
Gerry Soejatman menuturkan bahwa kendala pada pesawat baru dapat diatasi dalam tiga bulan.
“Jika itu sangat baru, kadang-kadang muncul snags atau sejumlah masalah yang akan muncul setelah armada digunakan secara rutin. Biasanya bisa disortir (dalam) tiga bulan pertama,” papar Gerry Soejatman.
Dalam istilah dunia kedirgantaraan, snags adalah ragam masalah yang dirasakan oleh pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat. Dengan tingkat persoalan yang berbeda-beda, seperti ‘getaran aneh di kokpit’, ‘suara mesin yang tak wajar’, dan lain sebagainya.
Snags yang dirasakan pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat kemudian dicatat dalam ‘log book’ atau catatan penerbangan. Usai melakukan penerbangan, ‘log book’ itu kemudian diserahkan kepada teknisi maskapai agar mereka bisa menyelesaikan masalah yang dirasakan pilot saat terbang.
Analis lain, Jon Ostrower dari majalah penerbangan ternama The Air Current juga turut mengomentari insiden tersebut.
“Selalu ada masalah, termasuk pesawat baru … itu biasa, tetapi (pada pesawat baru) masalah itu jauh dari sesuatu yang akan mengancam keselamatan sebuah pesawat terbang,” ujar Jon Ostrower.
Kedua analis mengatakan masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan pasti tentang apa yang salah dengan Penerbangan JT 610.
“Saya tidak tahu apa yang akan membuat pesawat baru ini mengalami kecelakaan. Ada banyak faktor berbeda yang dapat menyebabkan kecelakaan seperti ini,” ujar Ostower.
Pergerakan pesawat Lion Air JT 610 sebelum jatuh ke Tanjung Karawang (Flightradar24)
Korban Terjebak di Badan Pesawat
Badan SAR Nasional kini memperluas pencarian tubuh JT 610. Jika sebelumnya radius operasi 5 nautical mile, kini menjadi 10 nautical mile.
Kepala Basarnas Marsekal Madya Muhammad Syaugi menduga banyak korban terjebak di pesawat Lion Air itu.
“Kenapa kita cari main body karena kita berharap masih banyak yang ada di situ. kalau itu sudah ditemukan pasti lebih banyak lagi. Mudah-mudahan hari ini ada titik temu,” ujar Syaugi, Selasa (30/10/2018).
Tim SAR gabungan menggunakan alat canggih bernama Multibeam Echo Sounder untuk mempercepat pencarian. Alat ini berfungsi untuk melihat objek di dasar laut. Dia berharap penggunaan alat tersebut dapat menemukan badan pesawat.
“Apakah ada logam besar dengan scanning yang cukup luas. Ini alat pernah dipergunakan dalam pencarian korban KM Sinar Bangun di Medan,” ucap Syaugi.
Sebanyak 100 orang penyelam dilibatkan, dari berbagai instansi, untuk menyisir radius pencarian. Selain ratusan personel penyelam, empat kapal dan tiga unit helikopter juga dikerahkan.
Kapal digunakan untuk mencari titik prioritas pertama dengan menggunakan alat echosounder. Sedangkan belasan kapal dioperasikan pada titik prioritas dua.
Proses pencarian ini juga mendapat perhatian dari negara asing. Direktur Kesiapsiagaan Basarnas Didi Hamzah menyebut dua negara, Singapura dan Australia, menawarkan diri bergabung dalam tim pencarian. Namun tawaran itu belum diiyakan Basarnas. Belakangan, Amerika Serikat juga menawarkan bantuan.
“Kami menilai dari kesiapan dan lokasi kejadian kami masih cukup untuk lakukan operasi SAR. Ingat ini baru hari kedua ya,” tegas Didi dalam konferensi pers di Gedung Basarnas, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018).
Penyelidikan Butuh Waktu Lama
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sejauh ini belum mengungkap indikasi awal penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang. Sebab butuh waktu lama untuk menyelidiki jatuhnya pesawat nahas tersebut.
Penyelidik KNKT Ony Suryo Wibowo mengatakan, perlu black box Lion Air JT 610 untuk bisa memverifikasi data-data yang dikumpulkan. Data kotak yang diunduh memerlukan waktu 1-2 jam. Data itu harus kembali dicek kevalidannya.
Proses berikutnya butuh waktu lama untuk melakukan analisis, identifikasi, dan evaluasi dengan membandingkan data dari black box dengan temuan penyelidikan.
“Kalau diharapkan dipublikasikan ke masyarakat, dengan sangat menyesal dalam waktu dekat tak mungkin,” kata Ony saat konferensi pers di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018).
KNKT telah mengantongi data koordinat yang diduga menjadi lokasi blackbox pesawat Lion Air JT 610. Tim masih berusaha menyisir dengan menggunakan alat pendengar suara di bawah air.
Sesuai amanat perundang-undangan dan juga standar internasional, KNKT diberikan waktu maksimal satu tahun untuk melakukan penyelidikan. Namun, KNKT perlu membuat laporan awal dalam satu bulan yang disebut preliminary report.
“Kita akan berusaha sebisa mungkin dalam satu bulan, mengumpulkan semua data yang ada, dan ini biasanya memakan waktu cukup lama,” jelas Ony.
Laporan ini berisi seperti, apakah pilot memiliki lisensi, bagaimana kondisi cuaca ketika penerbangan, bagaimana serpihan pesawat yang ditemukan, dan lokasi penemuannya.
“Mengapa kecelakaan terjadi, untuk menyelidikinya kami diberikan waktu satu tahun. Itupun kalau kita tidak membutuhkan pengetesan dari manufaktur, misalnya, di Amerika Serikat (Boeing) yang biasanya memakan waktu lebih lama,” pungkasnya.(Liputan6com/AW)